Rabu, 16 November 2011

Pesan di Padang Ilalang

Bagian 5
“Sebagian orang-orang tua di kampung ini ternyata masih mengenaliku. Karena ketika kecil aku pernah tinggal di kampung ini sewaktu Mamaku masih menumpang tinggal di rumah kakekku dan berjuang seorang diri. Sementara Papa bekerja di seberang lautan, dan mulai jarang pulang. Orang-orang bilang ia mempunyai istri lagi di seberang, tapi aku tak peduli. Toh, mereka tak pernah benar-benar ada untukku, jadi aku telah membuang jauh-jauh rasa kehilanganku sejak kecil. Namun, meski sekarang Papa dan Mama telah resmi berpisah, Papa masih sering berkirim kabar dan sekadar menanyakan keadaanku (yah—whatever!). Kini, setelah mapan, Mama telah mampu membeli rumah sendiri di komplek perumahan mewah di kota. Dan di sanalah aku tinggal sejak kelas 6 SD hingga sekarang.

“Oke, cukup bercerita tentang masa kecilku. Kembali ke ceritaku, sudah berjam-jam lamanya kami mengerjakan proyekku, dan mereka semua, para penduduk kampung, masih tetap memperhatikan kami dengan khusyuk bagiamana kami mengukur, mengamati, membandingkan, mengukur lagi, mengamati lagi, lalu membandingkan lagi hasil yang telah kami capai dengan pola crop circle yang tercetak di atas kertas. Sebelumnya sudah kukatakan bukan, rasanya sungguh melelahkan bekerja di tengah panas terik seperti ini. Tapi selain itu, aku juga merasa bahagia dengan apa yang sejauh ini kami kerjakan. Sembari menyesap air mineral dalam botol yang kubawa kurasakan pandanganku mulai berkunang-kunang. Terik matahari kian garang menyorot, menampakkan siluet enam tubuh pemuda yang berdiri kepayahan dan bersimbah peluh di atas hamparan ilalang yang pitak dan mulai menampakkan jajaran bentuk simetrisnya dengan anggun.

“Namun aku tidak akan menyerah, batinku… Aku tidak ingin karyaku ini meleset barang seinchi saja. Aku ingin karyaku ini bisa terbaca oleh mereka. Aku percaya, keinginan yang kuat dan antusiasme yang menyala-nyala dalam diriku akan mengalahkan segalanya.

“Aku ingin bertemu alien. Sekali lagi aku mematri tekad itu dalam dada. Aku ingin menjelajahi planet mereka. Aku ingin melihat rupa kebudayaan mereka. Aku ingin menjadi Sinbad modern. Walaupun untuk itu, aku harus rela menawarkan diriku seperti Indian yang dibawa oleh Columbus dari benua Amerika menuju Spanyol…

“Menjelang sore, ketika sorot matahari telah redup dan menawarkan semburat jingga di langit barulah kami benar-benar menyelesaikan pembuatan crop circle-ku. Seraya bersama-sama merebahkan tubuh kami yang kelelahan di bawah bayangan sebuah pohon jambu biji, kulihat seekor elang melesat membelah angkasa. Aku membayangkan diriku menjadi elang itu. Dan melalui matanya aku bisa melihat crop cirle-ku membentang dengan indah di atas padang ilalang, berada tepat dua puluh meter ke kanan dari tempat kami berbaring sekarang. Berbentuk persegi dengan ukiran dot-dot matriks segiempat ataupun persegi panjang, ada pula yang berbentuk seperti huruf L, lebar, serta sempit, dan menyerupai sebuah labirin kecil. Itulah crop circle-ku yang berbentuk QR code.

QR code?

“Ah, baiklah, mungkin kamu sedikit kurang paham dengan istilah QR code. Menurut Wikipedia, quick response code, atau biasa disingkat QR code, adalah suatu jenis kode matriks atau barcode dua dimensi yang dapat dibaca dengan pemindai QR code ataupun kamera ponsel. Umumnya QR code digunakan untuk mencantumkan teks, alamat URL, ataupun informasi lainnya. Dan aku memanfaatkan teknologi ini sebagai media untuk menyampaikan pesanku yang menuju ke URL halaman blog serta profile page-ku. 

“Ada alasan tersendiri kenapa aku memilih QR code sebagai bentuk crop circle-ku. Aku mengasumsikan alien itu sebagai makhluk yang cerdas dan berperadaban maju. Jadi, menurutku pasti mereka telah lebih dulu bisa membaca kode itu dengan teknologi mereka ketika mereka melihat crop circle-ku di atas permukaan padang ilalang ini nantinya. Di posting blog itulah aku menjelaskan secara rinci tentang keinginanku untuk berhubungan dengan mereka, dan seterusnya, dan seterusnya… seperti yang telah kuterangkan padamu sebelumnya. Posting itu kuberi judul ‘A Letter to Alien: Take Me With You, Outsider!’ (=Surat Untuk Alien: Bawa Aku Bersamamu, Makhluk Asing!) dan ditulis dalam Bahasa Inggris. Di sini, lagi-lagi aku mengasumsikan kalau alien itu benar-benar makhluk yang cerdas, toh, mereka pasti telah lebih dulu mempelajari bahasa manusia bumi. Dan dalam hal ini, bahasa yang paling populer digunakan oleh manusia bumi adalah Bahasa Inggris…”

Si petugas polisi tercenung. Sejauh ini ia belum mendapatkan petunjuk jelas perihal menghilangnya si pemuda seperti yang dilaporkan oleh Ibunya di hadapannya. Namun sebaliknya, ia merasa sangat penasaran dengan lanjutan cerita si pemuda di dalam recorder tersebut. Maka ia segera menelusuri layar recorder dan menekan tombol ‘next’ untuk memutar file rekaman berikutnya.

“Kamis, 31 Maret. Jam 23.05.

“Beberapa malam setelah aku mengerjakan crop circle-ku aku mulai mengalami mimpi aneh. Aku tidak dapat menjelaskannya. Semuanya serba kelabu dan seakan-akan pikiranku diselimuti kabut. Tapi, celakanya, di saat tengah sendirian seperti ini aku mendadak dapat mengingat kembali kilasan-kilasan mimpi aneh tersebut, berkelebatan di dalam kepalaku setiap kali aku melihat ranjang tidurku yang bresprei putih. Orang-orang tinggi berbaju putih. Ranjang—tepatnya seperti meja—dengan cahaya putih yang menyilaukan di langit-langit. Lalu tatapan-tatapan penuh selidik yang menakutkan. Semua gambar itu seperti dilemparkan begitu saja, silih berganti, di dalam kepalaku dalam durasi yang bahkan sangat cepat untuk diingat.

“Maka dari itu kuputuskan untuk tidak tidur saja malam ini. Aku terus memikirkan hal itu hingga syaraf-syarafku tegang. Aku malu mengatakannya, tapi aku merasa takut untuk tidur sendirian—di atas ranjang itu. Akhirnya aku memilih duduk di meja belajarku saja dan mulai merekam semua ini. Entahlah, mungkin aku hanya paranoid… Ada sensasi aneh dan galau yang membuat jantungku berdetak lebih cepat melihat ranjang putih itu. Degup tak beraturan yang merisaukan.Sepertinya tubuhku menolak untuk berbaring di sana, dan otakku menolak untuk mengingat guna memberi penjelasan.

“Mulanya aku sama sekali tidak menghiraukan sensasi itu sejak kurasakan beberapa malam lalu, tapi malam ini ketakutan itu lebih kuat melanda diriku. Aku dicekam teror yang tak mampu kujelaskan perihal sebab musababnya. Dan aku tidak bisa tidur karenanya.

“Perlahan, gambar ranjang putih di retina mataku itu membawaku kembali pada cuplikan mimpiku. Kilasan-kilasan yang berkelebat dalam kepalaku kini menjadi lebih jelas. Kejadiannya dua malam yang lalu. Di dalam mimpiku itu, aku melihat tiga orang bertubuh tinggi dan bermata kubil dengan wajah bercadar. Mata itu hitam seluruhnya, dan kelam. Mereka memandangiku tak berkedip. Lama. Aku yakin mereka sepertinya tengah mempelajari bentuk tubuhku, atau menelitiku… Aku? Hei, itu aku yang tengah berada di atas meja putih di hadapan mereka! Mereka berdiri di kedua sisiku. Di bawah sinar lampu yang menyilaukan di atas kepala mereka, kulit wajah mereka tampak berwarna abu-abu. Selain itu seluruh bagian tubuh mereka tertutup pakaian.

“Aku di dalam mimpiku panik. Keringat dingin segera menyembur di wajahku. Tapi tubuhku tidak dapat melawan, atau meronta. Sepertinya aku berada di bawah kendali mereka.

[bersambung...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar