Rabu, 16 November 2011

Pesan di Padang Ilalang

“Aku sangat ketakutan mengingat mimpi itu. Semuanya tampak sangat nyata. Aku mulai tidak yakin sekarang, apakah itu hanya mimpi belaka atau... Ah!—aku tahu, sebenarnya itu adalah kilasan pengalaman yang berusaha dihapuskan dari memoriku bahwa aku telah benar-benar diculik oleh alien! Ya Tuhan!

“Eh, suara itu!

“Apa kamu mendengar suara itu, Kawan? Suara samar dan bernada rendah seperti yang pernah kudengar dalam mimpiku. Seperti siulan, tapi bukan. Seperti desahan, tapi lebih rendah dari itu…

"Ah, kilasan demi kilasan dalam kepalaku kembali lagi! Seperti slide show gambar berkualitas rendah yang berputar pelan di dalam kepalaku… Ingatanku makin jelas sekarang. Gambaran itu merupakan adegan lanjutan dari mimpiku sebelumnya. Di dalam mimpiku itu mereka berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti. Aku ingat, mereka sepertinya baru saja berdebat tentangku. Setelah menyuruhku bangkit dari ranjang tempatku berbaring tadi, mereka lalu mempersilahkanku duduk di sebuah kursi di sudut ruangan. Ruangan itu luas dan dipenuhi tabung-tabung kaca beraneka ukuran di dindingnya. Di dalamnya berisi masing-masing sampel tetumbuhan dan hewan-hewan yang ada di bumi dalam cairan kuning yang bergelembung-gelembung.

“Di meja di depanku—meja itu dipenuhi tumpukan kertas-kertas dan sebuah layar kotak tipis tembus pandang seperti kaca yang kemudian kuanggap sebagai layar LCD komputer—salah seorang dari sosok tinggi itu mengambil duduk di depanku dan kembali menatapku. Berhadapan satu-satu, sepertinya ia mewawancaraiku seolah aku seorang pasien yang baru saja diperiksa oleh dokternya. Ia menanyaiku macam-macam dalam bahasa aneh yang tak mengerti, tapi aku tahu maksud percakapannya. Seolah ia sedang berbicara langsung ke dalam kepalaku, melalui pikiranku. Jadi aku hanya mengangguk dan menggeleng saja. Aku tak ingat berapa lama, tapi sepertinya cukup lama sesi tanya jawab itu berlangsung…

“Ha!—suara itu lagi. Apa kamu mendengar suara itu, Kawan?

“‘Ya. Jelas sekali di dalam kepalaku. Sepertinya suara itu berbicara langsung melalui gelombang otakku. Pasti ini yang namanya telepati. Dan sepertinya itu adalah suara panggilan untuk kita…’

“Mendadak kurasakan sebentuk aliran hawa dingin merayapi punggungku. Hah!? Itukah mereka, para alien? Tak salah lagi! Mereka adalah tiga sosok tinggi yang menculikku dua malam lalu dan mewawancaraiku setelah membaca pesanku di padang ilalang. Aku yakin mereka juga telah membaca blog tentang keinginanku untuk berhubungan dengan mereka. Dan waktu itu mereka mendebatkan apakah aku boleh ikut dengan mereka atau tidak.

“Aku ingat di pagi hari setelahnya aku mendapati jejak tanah di lantai kamarku yang berasal dari bawah daun jendela. Sepertinya aku telah dipanggil dalam tidur menuju pesawat mereka.

“Dan sekarang mereka memanggilku kembali untuk ikut dengan mereka. Panggilan itu telah datang malam ini. Tampaknya mereka telah mengambil keputusan atas penawaranku. Namun, meskipun aku telah menyiapkan diriku sedemikian rupa untuk hari ini, tapi sebagian diriku yang lain kini mendadak merasa takut. Ciut. Dan bermaksud memilih mundur. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku yang gemetaran.

“'Tidak, tidak, hapuskan ketakutan dan keraguanmu itu, Kawan!' bagian diriku yang lebih kuat berusaha menguatkanku. 'Aku adalah temanmu. Dan kamu adalah temanku. Kita adalah satu…' katanya lagi meyakinkanku, membujukku. 'Ini mimpi kita, mimpi kita yang menjadi nyata. Jadi kamu harus ikut bersamaku untuk memenuhi panggilan itu!'

“Panggilan itu menggiring tubuhku untuk mendongak keluar ke jendela. Kulihat sebuah benda hitam besar laksana segumpalan awan mendung melingkupi langit atas rumahku. Sementara di bagian tengahnya terdapat selarik cahaya benderang, menyorot menyilaukan layaknya lampu panggung berukuran raksasa. Di sekitarnya daun-daun yang berserakan di halaman berterbangan dalam formasi lingkaran, dan suara gemuruh angin seakan-akan menjerit ketakutan menyaksikan fenomena itu. Itulah sinyalnya. Itulah pintu masuknya; sinar itu akan menyedot apa saja yang ada di bawahnya.

“Kedua tanganku bergegas membuka daun jendela dengan cekatan. Hei, aku tidak mau ke sana!—jeritku dalam hati. Itu bukanlah aku yang mengendalikan tanganku untuk membuka jendela. Tubuhku seperti dihipnotis. Bagian diriku yang masih sadar berusaha kuat menghentikannya, tapi pengaruh kendaliku kalah jauh.

“‘Apa!? Bagaimana dengan Papa-Mama, katamu…? Lalu dimana mereka saat kamu sendirian? Hei, hanya aku yang yang menemanimu di saat mereka sibuk kerja!’ teriak bagian diriku yang lebih kuat.

“Oh , tidak! Aku salah. Ternyata aku tidak sedang dihipnotis. Ternyata bagian diriku yang lebih kuatlah yang telah menguasai diriku dan memaksaku menuju cahaya itu.

“‘Tidak, tidaaaaakk…! Hentikan aku! Sejak awal kamulah yang mempunyai ide ingin diculik alien itu!' kataku pada bagian diriku yang lebih kuat, memohon.

“‘Ayolah, ini mimpi kita! Mimpi kita yang menjadi nyata…' jawab diriku yang lebih kuat, suaranya nyaring, bergetar tanda ia telah menemukan kesenangan tiada terkira. Tidak dipedulikannya sama sekali aku yang tengah merengek ketakutan. Sebaliknya ekspresi wajahnya—bayangan wajahku yang terpantul di kaca jendela—tampak sangat kegirangan menghadapi semua ini. Matanya melotot seakan nyaris keluar dari kelopaknya. 'Hahahaha! Apa kamu lupa? Kita akan bertualang melintasi galaksi! Bayangkan akan betapa menyenangkannya hal itu, Kawan!'”

“‘Tapi kamu hanyalah teman khayalanku! Berhentilah memerintahku!’

“‘Oh ya?’

“‘Hei, hentikan! Hentikan! Berhentilah menarik dan meminjam tubuhku…!’

“'Ah, waktunya habis, Kawan! Ucapkan selamat tinggal pada bumi!'”

Tukk! Terdengar suara recorder itu terantuk sesuatu, sepertinya terjatuh ke atas rumput di halaman. Lalu selanjutnya terdengar suara angin berhembus sangat kencang, seolah di tempat itu ada sesuatu yang mengambang di udara dan menerbangkan apa saja di bawahnya. Lalu perlahan suara seruan angin tersebut terdengar mereda, sepertinya sesuatu di angkasa itu telah bergerak menjauh dan menjauh…

Hingga akhirnya hanya terdengar suara angin malam biasa yang berdesir di senyap malam…

Di meja kerjanya si petugas polisi tergugu. Ini kasus yang sangat langka dan aneh. Kepalanya dipenuhi berbagai praduga. Rona wajahnya yang pucat menampilkan kengerian setelah mendengar keseluruhan cerita di dalam recorder itu. Si Ibu menatap penuh harap ke matanya, berharap menemukan kepastian ia akan berjumpa lagi dengan putranya. Semburat bening mengambang di kedua sudutnya. Meleleh. Lalu menganak sungai di antara pipinya.

“Pak Polisi, tolong temukan anakku…” ratapnya pilu, seolah memperdengarkan dari kedalaman hatinya yang paling dalam ia telah lama sekali kehilangan putranya itu.[]
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar