Rabu, 16 November 2011

Pesan di Padang Ilalang

Bagian 4

“Kemudian, akhirnya hari ini tiba. Bersama tim yang tidak pernah kubayangkan akan ada untuk membantuku, dengan menggunakan peralatan sederhana berupa sebatang tongkat sebagai tiang pancang, bilah papan, tali, serta segulungan meteran, kami mulai mengerjakan crop circle-ku ke bidang yang telah kutentukan. Dalam hal ini, seperti yang telah kupikirkan sejak berhari-hari lalu, bidang yang kupilih adalah tanah warisan kakekku, dimana terdapat hamparan ilalang yang cukup luas. Sebenarnya hal ini juga dikarenakan di sekitar kota tempat tinggalku tidak terdapat areal persawahan—dan kalaupun ada nih, tentunya aku tidak mau dicap kriminal dengan merusak ladang milik orang lain. Jadi, perkenankanlah aku memanfaatkan apa yang telah disediakan alam untukku.

“Toh, menurut hematku, karakteristik bentuk tanaman serta lapangan terbuka di sekitarnya tidak jauh berbeda sebagai tempat ideal bermukimnya sebuah crop circle.

“Di langit matahari tinggi menggantung, hampir sejajar di atas kepala kami. Teriknya menyorot tanpa ampun. Dengan konsentrasi tingkat tinggi dan peluh membanjiri sekujur tubuh, kami bekerja sepenuh hati mengukir pola di atas padang ilalang. Sebuah tiang pancang ditancapkan di tengahnya sebagai titik poros, lalu kami mulai menarik meteran sesuai diameter yang kuinginkan. Kami bekerja bahu membahu membuat garis, mereka bentuk geometris, serta merebahkan bagian ilalang yang telah ditandai dengan bilah papan yang digantungkan dengan tali ke leher. Semua itu kami lakukan dengan penuh minat dan antusiasme yang menyala-nyala. Ini sungguh melelahkan, namun sekaligus menyenangkan.

“Tenaga kami boleh saja perlahan-lahan habis, merunduk jatuh seperti batang-batang ilalang yang bertebaran patah dalam formasi teratur, tapi tidak dengan semangat kami. Aku akan—tidak, tidak, tepatnya, kami harus menyelesaikan apa yang telah kami mulai!

“Apa yang kami lakukan di siang hari bolong ini tentu saja menarik perhatian anak-anak kampung dekil, bertelanjang kaki dan bertelanjang dada, dengan rambut pirang terbakar matahari, serta bau keringat menyengat, yang tengah bermain sepak bola di lapangan kecil di dekat sebuah pohon jambu biji yang rindang. Berpagar rimbun pohon pisang, tak jauh dari tempat kami berada. Namun masih dalam lingkup kawasan tanah kakekku di ujung pemukiman penduduk.

“Mereka semua memandangku dengan dahi berkerut saat kukatakan aku sedang membuat crop circle, sebuah jejak UFO seperti yang sering mereka lihat di berita TV beberapa waktu lalu. Ketika itu salah seorang dari mereka hendak mengambil bola plastik yang melayang ke arah kami, dan terheran-heran melihat tingkah lakuku serta teman-temanku yang tengah merebahkan ilalang di hadapan kami dengan sebilah papan yang diikat tali dan diinjak-injakkan ke tanah. Bocah itu bertanya penuh rasa ingin tahu. Tapi sebagai gantinya aku malah berteriak dengan suara lantang dan memarahinya agar bermain jauh-jauh dari kami. Apa boleh dikata, aku tidak ingin jejak kaki kecilnya itu merusak pola yang telah kurancang dengan sempurna. Tapi sebagaimana layaknya bocah yang penuh rasa ingin tahu, ia tak mau dilarang tanpa penjelasan.

“Maka, tak lama setelah aku menjelaskan apa yang sedang kami kerjakan (ketika itu teman-temannya yang lain ikut mendekat karena terlalu lama menunggu si bocah mengambil bola), akhirnya mereka semua berhenti bermain sepak bola dan mulai memperhatikan kami dengan seksama dari titik-titik dan  jarak yang kuperbolehkan.

“‘Untuk apa itu, Kak?’ tanya seorang lagi di antara mereka, memberanikan diri. Wajahnya tampak serius menanti jawaban yang keluar dari mulutku, seraya sesekali mengelap ingusnya dengan punggung tangannya. Ia bertubuh paling kecil di antara yang lainnya, namun sinar matanya menyiratkan kecerdasan.

“Aku menghentikan langkahku menginjak-injak batang ilalang yang mulai menguning di bawahku, merasa terganggu, menatapnya. Cukup lama untuk membiarkan sebongkah peluh luruh lalu menjuntai di antara kedua alis mataku.

“‘Hei, Bocah, apa kamu pernah membaca cerita Petualangan Tom Sawyer?’ Aku balik bertanya. ‘Atau Petualangan Sinbad si Pelaut?’

“Si bocah menggeleng.

“‘Apa kamu suka menonton film Indiana Jones?’

“Si bocah kembali menggeleng.

“‘Hmmm…  kalau begitu, apa kamu suka petualangan?’

“Kali ini si bocah mengagguk. ‘Ya, kadang kami suka bermain jadi bocah petualang seperti di TV,’ jelasnya bangga.

“Aku lantas berjalan perlahan menghampiri mereka dengan langkah hati-hati. ‘Nah, kalau begitu apa yang kulakukan sekarang ini adalah hendak memulai cerita petualanganku sendiri. Sejak dulu aku selalu ingin memuaskan imajinasi terliarku… Kalian mau tahu? Aku ingin memanggil alien!’ kataku sungguh-sungguh, aku mengatakan hal itu tepat di depan hidung mereka dengan penuh penekanan. Terlebih, sebenarnya hal ini kumaksudkan untuk mengusir mereka.

“‘Aku mengukir pola di atas padang ilalang ini dengan maksud untuk menyampaikan pesanku pada mereka… Aku ingin agar bisa diculik oleh alien! Ini pasti akan jadi petualangan yang sangat menyenangkan jika aku bisa melakukan perjalanan melintasi jagat raya dan pergi ke dunia alien bersama mereka! Heheheh… Iya ‘kan?’

“‘Sinting, sinting!’ mungkin itulah yang ada di benak si bocah ketika itu. Kuperhatikan dengan jelas bagaimana pupil matanya membelakak. Hihihi!—aku terkikik dalam hati. Aku menikmatinya, membayangkan sebentar lagi mungkin ia dan teman-temannya akan terbirit-birit dari tempat ini, sehingga aku tak perlu merasakan lagi adanya gangguan kecil yang bakal menunda pekerjaanku.

“Pelan—pelaaaann sekali—dengan langkah teratur, si bocah ingusan yang bertanya tadi mundur ke belakang. Sambil tetap memandangku dengan sorot mata yang menyatakan aku sinting sesinting-sintingnya, ia menyikut salah seorang anak di sebelahnya. Temannya itu tampak kaget, kemudian serta-merta mengikutinya mengambil langkah mundur. Begitu pun yang lain. Mereka beringsut ke sudut lain padang ilalang menuju lapangan terbuka tempat mereka bermain bola tadi.

“Ha! Aku tersenyum simpul, dan berpikir aku telah berhasil menakut-nakuti mereka, tapi yang terjadi malah kebalikannya. Dasar anak-anak kampung! Mereka semua lantas berbisik-bisik dengan kepala tertunduk, lalu dengan cepat menyuruh dua orang di antara mereka untuk segera pulang ke rumah. Dengan perasaan bingung, cemas, takut, sekaligus tertarik, mereka mengabarkan berita tentang kami kepada orang-orang dewasa lainnya di kampung...

"Dan seperti yang kamu lihat sekarang, tak lama setelah itu, proyek kami pun segera menjadi tontonan orang-orang kampung.

“Tidak aneh, aku bergumam pada seorang teman di sebelahku. Manusia dengan sifat keingintahuannya yang besar. Sementara kami tetap meneruskan pekerjaan kami, kabar dengan cepat berkoar, menyebar ke segala penjuru laksana hembusan angin. Dan kini mereka pun sepakat memberi julukan padaku sebagai 'Si Pemanggil Alien'. Julukan yang tidak buruk, bukan?

“‘Tunggulah sebentar lagi dan aku akan diliput oleh stasiun TV, hehehe…’ ceracauku di tengah panas terik yang membakar ubun-ubun. Teman-temanku yang lain terkekeh. Wajah mereka memerah terpanggang matahari.

[bersambung...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar